Mengapa Saya Menulis?

 

00a0356ffe6284225941812b6f6da397

 

Ehm… bagaimana ya saya ngomongnya.

Jadi begini, saya adalah seorang yang terlahir tidak dengan bakat menulis. Saya suka menulis barangkali karena saya suka membaca. Saya suka sekali membaca novel, puisi dan cerpen. Tak heran jika tulisan saya nggak jauh dari itu. Mungkin kalau saya suka baca artikel ilmiah, esay, buku politik dan lain sebagainya, saya akan menulis hal yang serupa saya baca.

Jadi, saya suka menulis adalah buah manis dan bonus dari hobi membaca saya. Itu yang utama.

Selebihnya adalah murni saya curhat ataupun sedang membebaskan imajinasi saya dalam bentuk tulisan. Karena bagaimanapun seseorang butuh media untuk menuangkan apa yang ada di dalam kepalanya. Menuangkan apa yang sedang dirasakannya. Sehingga akan lebih ringan di dalam diri. Yah, aku menganggap ini adalah terapi. Saat banyak masalah muncul, tapi tak kunjung juga dapat solusi, maka media yang tepat untuk menemani sabar adalah menulis. Itu menurut saya.

Itu sebelum saya kenal kamu. Dendra Rahardja.

Seseorang yang menjadi alasan terbesar saya menulis. Menghidupkannya dalam cerita dan puisi yang saya bangun sendiri. Menjadi tokoh protagonis dan antagonis dalam satu waktu. Meski begitu, saya sangat mengaguminya. Ehmmm… bukan. Tapi saya sudah mencintainya.

Kamu pernah bilang kalau kamu menganggumi seseorang penulis.

“Kenapa?”

“Ya… karena mereka tu hebat.”

“Kok bisa?”

“Mereka itu bisa menuangkan apa yang ada dalam pikirannya dalam tulisan hingga bisa dinikmati oleh pembaca. Hal yang nggak aku bisa.”

Sejak itu, saya begitu menggebu ingin menulis. Bukan karena ingin kamu kagumi. Tapi secara tidak sengaja kamu telah memberiku motivasi begitu besar. Mungkin kamu tidak memiliki hobi menulis, tapi setidaknya kamu suka membaca. Yah, meski kamu nggak pernah tau kalau cerita-cerita dan puisi-puisi yang saya tulis adalah tentang kamu. Hampir semua.

Apa ada yang marah jika saya menulis karena seseorang?

Mungkin teman-teman menilai saya sangat kurang kerjaan jika menulis karena seseorang yang nggak jelas perasaannya kepada saya.

Saya tidak masalah. Kalau pada saatnya saya tahu kamu tidak memiliki perasaan apa-apa dengan saya. Saya sungguh tidak mengapa. Maksudnya, saya tidak akan menuntut balasan apa-apa atas perasaan saya. Tidak. Saya mencintaimu tulus. Dan berharap masih terus menulis. Tapi maaf, jika isinya masih tentang kamu. Meski temanya sudah berbeda.

Saya menulis karena ada hal-hal yang tidak bisa saya ucapkan dengan lidah kelu saya. Ada yang sangat berat untuk diucapkan, tapi teramat ringan jika di tuliskan. Saat bicara, lidah bisa saja bohong. Tapi melalui tulisan, adalah kata-kata paling tulus yang tak akan pernah ada matinya. Akan abadi. Selamanya.

Beberapa penulis yang saya temui, mereka menuliskan tentang kisahnya sendiri bersama orang yang dicintainya hingga kisahnya dibaca banyak orang bahkan pernah difilmkan. Saya dan kamu mungkin pernah menontonnya. Hingga nama mereka disebut-sebut oleh para pembaca adalah kisah cinta yang abadi. Ya. Aku menulis untuk keabadian.

Mungkin cerita kita akan berbeda. Tapi tetap saja manis. Tidak apa kamu tidak mencintaiku. Aku sudah siap dengan segala kemungkinan buruk yang aku terima saat pertama menyadari saya mencintaimu. Tidak mengapa. Saya masih tetap bisa mencintaimu, jika kamu mengizinkan. Oh, maaf tidak… aku masih dan tetap mencintai dengan atau tanpa kamu izinkan. Dengan atau tanpa balasan.

Karena kamu sudah menjadi kekuatan terbesar saya untuk menulis. Jadi, tetaplah kuat. Saya tidak akan mencemarkan nama baikmu. Pegang kata saya.

Karena kamu baik, maka tak perlu saya menjadi jahat.

Saya selalu percaya bahwa yang baik akan dipertemukan dengan yang baik.

Teori sederhana yang selalu membuat saya selalu ingin menjadi baik.

Dendra,

Terimakasih.

Saya harap kamu membaca ini.

Biar kamu tidak selalu bertanya mengapa saya menulis.

Leave a comment